Kamis, 15 Mei 2014

Hukuman bagi pelaku kejahatan di Indonesia



HUKUMAN YANG PAS BAGI PELAKU KEJAHATAN DI INDONESIA

Memperhatikan dialog "kontroversi hukuman bagi kejahatan seksual" di tvone pada tanggal 12 mei 2014, saya tertarik sekali topik tersebut. Bukan semata-mata hukuman apa yang pantas bagi kejahatan seksual, tetapi saya lebih tertaik pada antusisnya para peserta dialog yang ingin mencari formula hukuman apa yang tepat bagi sebuah kejahatan sehingga ada efek jera bagi pelaku. Para peserta saling tarik ulur menurut sudut pandang yang berbeda dan syarat dengan kepentingan-kepentingan yang nota benenya (meskipun ada kesepakatan) tentu akan menimbulkan kontroversi yang amat sangat luas yang berdampak pada sikap impulsif, dendam dan sifat-sifat destruktif lainnya.pada kesempatan ini, topik saya sederhanakan menjadi "hukuman dan kejahatan" bagi negara hukum seperti Indonesia yang pluralis, tidak menganut suatu agama tertentu, tetapi menganut falsafah Pancasila. Terkait dengan masalah hukuman dan kejahatan di Indonesia saya merujuk kepada sila pertama Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.saya berkeyakinan semua warga negara Indonesia adalah beragama, apapun agamanya. Sebagai warga negara yang beragama, sudah menjadi keharusan bahwa ketentuan agama menjadi sebuah pedoman hidup, dengan menanggalkan kepentingan-kepentingan individual atau kelompok. Meskipun saya beragama Islam, saya yakin bahwa norma-norma agama manapun tetap mengatur hidup dan kehidupan bagi ummatnya baik di dunia maupun kehidupan kelak setelah mati. Agama inilah yang menjadi hukum Tuhan, yang seharusnya menjadi sumber dari segala sumber produk hukum dalam suatu keghidupan di sebuah wilayah negara.
Sebagai analog dalam hubungan ini, saya ambil contoh selluler atau yang lebih dikenal dengan HP. HP diciptakan oleh penciptanya untuk kepentingan utama berkomunikasi. HP dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, tentu penciptanya telah membuat pula ketentuan-ketentuan sekiranya HP dapat bermanfaat. Ketentuan HP dapat bermanfaat antara lain performance HP dalam keadaan normal, ada baterai yang terisi, ada kartunya, ada pulsanya dan ketentuan lain sesuai spesifikasi HP yang terkait. Salah satu ketentuan agar HP dapat bermanfaat sesuai harapan, jika salah satunya tidak terpenuhi, tentu HP tidak akan dapat bermanfaat atau sekurang-kurangnya, kurang pula manfaat HP itu sendiri. Pengguna tentu tidak dapat serta merta memaksakan kehendak untuk memanfaatkan HP tanpa baterai yang tidak berisi, atau tidak ada pulsanya.
Atas analog tersebut maka manusia pada hakekatnya diciptakan oleh Tuhan Sang Pencipta adalah untuk mengabdi kepada Nya. Agar manusia mempunyai nilai di hadapan Tuhannya maka Tuhan telah membuat ketentuan-ketentuan yang dalam agama Islam disebutnya sebagai syari'at. Manusia yang tidak memenuhi ketentuan syaria'at tentu sama dengan HP yang tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi HP. Maknanya adalah bahwa misalnya HP tidak terisi dengan pulsa (ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan HP), maka bentuk hukuman atau sangsinya adalah HP tidak dapat dimanfaatkan. Bagi manusia tentu pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan akan menempatkan manusia itu sendiri hina di hadapan Nya dengan mendapatkan hukuman, sanksi atau siksa.
Sekarang yang masih diperdebatkan adalah hukuman apa bagi kejahatan manusia di negara hukum seperti Indonesia? Karena menganut agama yang beraneka ragam, maka agar hukum di Indonesia tidak terjadi tarik ulur terhadap kepentingan tertentu yang suatu saat dapat berubah-ubah berdasarkan kepentingan itu, maka hukuman yang pas itu adalah hukuman yang berdasarkan agama. Agama manakah yang mempunyai ketentuan hukum yang bisa diterima oleh semua agama-agama di Indonesia, tentu jawabannya adalah tidak ada ketentuan agama yang dapat diterima oleh semua agama. Oleh karena Indonesia menganut falsafah Pancasila, maka hukum yang tepat adalah hukum "agama" Pancasila. Artinya adalah bahwa hukum yang diberlakukan adalah memihak kepada agama korban. Misalnya orang Islam dibunuh oleh seseorang (apapun agamanya si pembunuh), maka hukum yang berlaku adalah qishas. Tetapi apabila ada orang kristen misalnya dibunuh oleh seseorang (apapun agamanya si pembunuh), maka hukum yang berlaku adalah hukum kristen-bagaimana hukum terhadap pembunuhan, demikian seterusnya, berlaku untuk seluruh kejahatan dan hukuman yang pantas bagi pelakunya berdasarkan ketentuan agama. Jika hal ini dapat diberlakukan saya yakin setidak-tidaknya dapat mengurangi tarik ulur antar kepentingan yang sangat-sangat prural dalam segala aspek kehidupan, tetapi hanya tarik ulur terbatas dalam suatu agama terkait, yang tentu dalam hal ini akan mengurai kontroversi terhadap hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Hanya yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pemeluk agama tertentu harus tunduk terhadap ketentuan agama yang dianutnya. Hal yang masih kontroversi dan mungkin dapat menimbulkan kekhawatiran adalah jika ketentuan suatu agama tertentu itu lebih ringan dari agama lain dapat terjadi "eksodus agama tertentu ke agama lain" yang tentu hal ini tidak dikehendaki oleh semua agama. Jadi negara cukup membuat Undang-undang yang mengatur tentang  pemberlakuan hukum agama bagi pemeluknya, bukan hukum agama tertentu untuk agama lain atau warga negara. Bukankan hal ini juga telah di jamin dalam UUD 45, bahwa Negara telah menjamin kebebasan beragama dan memeluk agama itu? Pikirkan hal itu!
Mohon tanggapan, kritikan dan follow up pemikiran berikutnya.