HUKUMAN YANG PAS BAGI PELAKU KEJAHATAN DI INDONESIA
Memperhatikan dialog "kontroversi hukuman bagi kejahatan
seksual" di tvone pada tanggal 12 mei 2014, saya tertarik sekali topik
tersebut. Bukan semata-mata hukuman apa yang pantas bagi kejahatan seksual,
tetapi saya lebih tertaik pada antusisnya para peserta dialog yang ingin
mencari formula hukuman apa yang tepat bagi sebuah kejahatan sehingga ada efek
jera bagi pelaku. Para peserta saling tarik ulur menurut sudut pandang yang
berbeda dan syarat dengan kepentingan-kepentingan yang nota benenya (meskipun
ada kesepakatan) tentu akan menimbulkan kontroversi yang amat sangat luas yang
berdampak pada sikap impulsif, dendam dan sifat-sifat destruktif lainnya.pada
kesempatan ini, topik saya sederhanakan menjadi "hukuman dan
kejahatan" bagi negara hukum seperti Indonesia yang pluralis, tidak
menganut suatu agama tertentu, tetapi menganut falsafah Pancasila. Terkait dengan
masalah hukuman dan kejahatan di Indonesia saya merujuk kepada sila pertama
Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa.saya berkeyakinan semua warga negara Indonesia
adalah beragama, apapun agamanya. Sebagai warga negara yang beragama, sudah
menjadi keharusan bahwa ketentuan agama menjadi sebuah pedoman hidup, dengan
menanggalkan kepentingan-kepentingan individual atau kelompok. Meskipun saya
beragama Islam, saya yakin bahwa norma-norma agama manapun tetap mengatur hidup
dan kehidupan bagi ummatnya baik di dunia maupun kehidupan kelak setelah mati. Agama
inilah yang menjadi hukum Tuhan, yang seharusnya menjadi sumber dari segala
sumber produk hukum dalam suatu keghidupan di sebuah wilayah negara.
Sebagai analog dalam hubungan ini, saya ambil contoh selluler atau
yang lebih dikenal dengan HP. HP diciptakan oleh penciptanya untuk kepentingan
utama berkomunikasi. HP dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, tentu
penciptanya telah membuat pula ketentuan-ketentuan sekiranya HP dapat
bermanfaat. Ketentuan HP dapat bermanfaat antara lain performance HP dalam
keadaan normal, ada baterai yang terisi, ada kartunya, ada pulsanya dan
ketentuan lain sesuai spesifikasi HP yang terkait. Salah satu ketentuan agar HP
dapat bermanfaat sesuai harapan, jika salah satunya tidak terpenuhi, tentu HP
tidak akan dapat bermanfaat atau sekurang-kurangnya, kurang pula manfaat HP itu
sendiri. Pengguna tentu tidak dapat serta merta memaksakan kehendak untuk
memanfaatkan HP tanpa baterai yang tidak berisi, atau tidak ada pulsanya.
Atas analog tersebut maka manusia pada hakekatnya diciptakan oleh
Tuhan Sang Pencipta adalah untuk mengabdi kepada Nya. Agar manusia mempunyai
nilai di hadapan Tuhannya maka Tuhan telah membuat ketentuan-ketentuan yang
dalam agama Islam disebutnya sebagai syari'at. Manusia yang tidak memenuhi
ketentuan syaria'at tentu sama dengan HP yang tidak terpenuhinya
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi HP. Maknanya adalah bahwa misalnya HP
tidak terisi dengan pulsa (ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan
HP), maka bentuk hukuman atau sangsinya adalah HP tidak dapat dimanfaatkan. Bagi
manusia tentu pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan akan menempatkan
manusia itu sendiri hina di hadapan Nya dengan mendapatkan hukuman, sanksi atau
siksa.
Sekarang yang masih diperdebatkan adalah hukuman apa bagi kejahatan
manusia di negara hukum seperti Indonesia? Karena menganut agama yang beraneka
ragam, maka agar hukum di Indonesia tidak terjadi tarik ulur terhadap
kepentingan tertentu yang suatu saat dapat berubah-ubah berdasarkan kepentingan
itu, maka hukuman yang pas itu adalah hukuman yang berdasarkan agama. Agama manakah
yang mempunyai ketentuan hukum yang bisa diterima oleh semua agama-agama di
Indonesia, tentu jawabannya adalah tidak ada ketentuan agama yang dapat
diterima oleh semua agama. Oleh karena Indonesia menganut falsafah Pancasila,
maka hukum yang tepat adalah hukum "agama" Pancasila. Artinya adalah
bahwa hukum yang diberlakukan adalah memihak kepada agama korban. Misalnya orang
Islam dibunuh oleh seseorang (apapun agamanya si pembunuh), maka hukum yang
berlaku adalah qishas. Tetapi apabila ada orang kristen misalnya dibunuh oleh
seseorang (apapun agamanya si pembunuh), maka hukum yang berlaku adalah hukum
kristen-bagaimana hukum terhadap pembunuhan, demikian seterusnya, berlaku untuk
seluruh kejahatan dan hukuman yang pantas bagi pelakunya berdasarkan ketentuan
agama. Jika hal ini dapat diberlakukan saya yakin setidak-tidaknya dapat
mengurangi tarik ulur antar kepentingan yang sangat-sangat prural dalam segala
aspek kehidupan, tetapi hanya tarik ulur terbatas dalam suatu agama terkait,
yang tentu dalam hal ini akan mengurai kontroversi terhadap hukuman yang pantas
bagi pelaku kejahatan. Hanya yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pemeluk
agama tertentu harus tunduk terhadap ketentuan agama yang dianutnya. Hal yang
masih kontroversi dan mungkin dapat menimbulkan kekhawatiran adalah jika
ketentuan suatu agama tertentu itu lebih ringan dari agama lain dapat terjadi
"eksodus agama tertentu ke agama lain" yang tentu hal ini tidak
dikehendaki oleh semua agama. Jadi negara cukup membuat Undang-undang yang
mengatur tentang pemberlakuan hukum
agama bagi pemeluknya, bukan hukum agama tertentu untuk agama lain atau warga
negara. Bukankan hal ini juga telah di jamin dalam UUD 45, bahwa Negara telah menjamin
kebebasan beragama dan memeluk agama itu? Pikirkan hal itu!
Mohon tanggapan,
kritikan dan follow up pemikiran berikutnya.