NILAI-ILAI KARAKTER
DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN
A.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia mengalami dekadensi moral yang tidak hanya sekedar
merisaukan di kalangan masyarakat, tetapi kerusakan moral itu sudah amat parah
pada bangsa Indonesia dalam berbagai strata sosialnya. Rusaknya moral bangsa
ini ditandai dengan maraknya praktik-praktik korupsi dalam skala besar dari
kalangan elit (pemimpin). Penyalahgunaan wewenang telah menjadikan tatanan
sosial dan pemerintahan menjadi terjungkir balik, yang bersalah di putar
menjadi benar dan yang tidak bersalah dipersalahkan. Setidak-tidaknya
penyalahgunaan wewenang ini, hukum tidak berlaku bagi yang berkuasa atau tumpul
dikalangan mereka dan tajam menghadap ke rakyat kecil yang tidak mengetahui
hukum dan perundang-undangan. Hal yang menjadikan moral bangsa ini menjadi akut
adalah perilaku para elit yang tidak mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa (“katany”), dipertontonkan
secara transparan melalui berbagai media massa sehingga menimbulkan pola
pemikiran masyarakat kecil untuk destruktif dan akhirnya menirunya.
Nabi muhammad berhasil dalam membangun masyarakat madani hanya
ditempuh dalam waktu 23 tahun. Itupun yang 13 tahun merupakan masa disintegrasi
yang masyarakat Arab pra Islam merupakan masyarakat yang nomaden dan
mementingkan kelompoknya sendiri. Kalau boleh dikalkulasi, Nabi Muhammad
membangun masyarakat jahily menuju masyarakat madani hanya kurang lebih memakan
waktu hanya 10 tahun, terhitung sejak kemerdekaan Mekah. Indonesia yang telah
merdeka lebih dari 60 tahun seharusnya secara matematik, lebih maju enam kali
dari keberhasilan Madinah yang tolok ukurnya tidak semata-mata dari sudut
pandang materi dan pembangunan fisiknya tetapi dari sudut pandang nilai-nilai
luhur bangsa dalam menata kehidupannya secara bersama-sama demi kepentingan
bersama.
Dekadensi moral bangsa Indonesia tidak hanya dapat dilihat dari para
elit negeri ini, tapi nampaknya sudah merambah ke seantero negeri bahkan sampai
pelosok-pelosok desa oleh masyarakat tingkat bawah. Hancur mumurnya moral
bangsa ini dapat dilihat dari banyaknya berbagai tindak kejahatan dan kriminal
di tengah-tengah masyarakat seperti penipuan, pencurian, perampokan,
pemerkosaan, pembunuhan, kekerasan dan lain sebagainya. Kerusakan moral ini justru
terjadi di kalangan muda dan terpelajar yang semestinya mempunyai tanggung
jawab masa depan bangsa ini. Maraknya tawuran antar pelajar, seks bebas,
penyalahgunaan zat-zat adiktif, peredaran foto dan video porno seakan menjadi hal yang biasa dan merasa itu
bagian dari haknya yang justru menjadikan sulitnya orang tua, guru, pemimpin,
tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan nasihat baik kepada mereka.
Kerusakan moral masyarakat terutama di kalangan remaja tidak hanya
dilingkungannya saja tetapi sudah merambah ke berbagai sudut lingungan hidup
mereka. Pendidikan keagamaan, penanaman nilai-nilai kepribadian bangsa seakan
menjadi barang kuno yang sudah usang tidak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman. Benarkan pada zaman modern ini harus mengiuti setiap mode? Jawabannya
adalah sangat relatif tergantung dari sudut pandang mana dalam mensikapi
modernisasi. Kalau dilihat dari sudut pandang yang positif, mengapa tidak.
Berbagai kerusakan moral tersebut baik di kalangan elit maupun
kalangan bawah, telah mengindikasikan hilangnya nilai-nilai luhur bangsa yang
sampai hari ini hanya slogan belaka. Oleh sebab itu harus ada usaha untuk
menjadikan nilai-nilai luhur (akhlak) ini kembali menjadi karakter bangsa yang
bisa dibanggakan, terutama di dunia pendidikan karena pendidikan adalah kawah
candradimukanya bangsa ke depan.
B.
Pengertian karakter
Pemahaman akan makna karakter akan mempengaruhi cara-cara mendesain
dan mengembangkan makna pendidikan karakter, baik di lembaga pendidikan formal,
informal maupun pendidikan non formal. Karakter ada yang memaknainya sebagai
tipologi kepribadian, perangai atau ciri-ciri individu yang relatif stabil.
Makna karakter ini dipahami melalui pendekatan psikologi, sehingga orang-orang
berusaha mendefinisikan tipe-tipe kepribadiannya dan berusaha bertindak atau
menerima kenyataan yang sesuai dengan kepribadian tersebut. Melalui pendekatan
sosial, karakter dimaknai sebagai sosialisasi sosial, sehingga pendidikan
karakter mengajarkan norma-norma sosial, pola perilaku dan tata krama yang ada
dalam masyarakat. Dari sudut pandang ini pendidikan diposisikan sebagai proses
sosialisasi yang mempunyai tujuan membawa peserta didik agar mengerti dengan
baik tatanan sosial dalam masyarakat, mengerti pola perilaku, norma sopan
santun, dan tata krama yang dihargai dalam masyarakat. Butir-butir karakter yang pertama (religius) sebagai
butir-bitir karakter yang dikembangkan di Indonesia justru menjadikan kabur
makna karakter dari sudut pandang yang sangat luas. Orang yang memasukkan
religius ke dalam nilai-nilai karakter di Indonesia mengindikasikan mereka
(maaf) kurang memahami makna religius yang sebenarnya. Mereka memaknai religius
(Islam) hanya sekedar kulit luarnya saja seperti; membaca al Qur’an, menghafal
ayat-ayat suci, melakukan ritual, belajar berdoa, sehingga dari sudut pandang
ini justru mempersempit makna karakter itu sendiri.
Dari bebarapa sudut pandang mengenai makna karakter akan
berimplikasi terhadap usaha-usaha dalam mendesain dan mengembangkan tepe-tipe
karakter yang dipahaminya. Oleh karena itu untuk memberikan makna karakter yang
lebih komprehensip harus dilihat dari banyak sudut pandang yang berbeda. Secara
etimlogis, menurut Poerwadarminta (dalam Amirulloh Syarbini, 2012), karakter
berarti tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan orang lain.[1]
Sedangkan secara terminologis, karakter adalah sifat yang mantap, stabil dan
khusus yang melekat dalam pribadi seseorang yang membuatnya bersikap dan
bertindak secara spontan, tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan dan tanpa
memerlukan pemikiran terlebih dahulu. [2] Sedang
menurut Doni Koesoema A., karakter diartikan sebagai sebuah kondisi dinamis
struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas
determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah usaha untuk hidup semakin
integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya
terus menerus. [3]
Dari kedua pengertian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
karakter adalah sifat yang mantap, stabil dan khusus yang melekat dalam pribadi
seseorang yang tidak hanya sekedar membuatnya bersikap dan bertindak secara
sepontan, melainkan juga sebuah usaha untuk hidup yang semakin integral dalam
mengatasi determinasi kodratnya dalam dirinya sendiri demi proses penyempurnaan
dirinya sendiri secara terus menerus. Karakter merupakan proses internalisasi
nilai-nilai positif dalam diri seseorang agar memiliki sebuah sifat-sifat
khusus sesuai dengan nilai-nilai yang dirujuk, baik dari agama, budaya dan
falsafah bangsa.
C.
Pentingnya pendidikan karakter
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010), pendidikan
karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
dan pendidikan akhlak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik atau buruk, memeihara apa yang baik dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Lebih dari itu
pendidikan karakter tidak hanya untuk memberikan keputusan baik dan
memeliharanya, tetpai juga harus mampu untuk menjauhi apa yang diputuskannya
buruk dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Dalam sejarah kurikulum dindonesia, pendidikan karakter telah
terintegrasi ke dalam kurikulum nasional. Pada tahun 1960-an, pendidikan
karakter diajarkan disekolah-sekolah formal pendidikan dasar dalam sebuah mata
pelajaran budi pekerti. Pada masa orde baru pendidikan karakter diwujudkan secara
ekplisit melalui program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) yang merupakan kewajiban bagi setiap pendidikan mulai dari
pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Orde baru juga membuat mata
pelajaran khas bangsa Indonesia yaitu PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang
secara ekplisit menunjukkan pendidikan moral.
Pada era reformasi karena PMP menjadi trade mark Orde Baru, maka PMP dihapuskan dan diganti
dengan Pendidikan Kwarganegaraan (PKn). Namun penggantian PMP menjadi PKn
justru mengubah haluan dari pendidikan moral menjadi pendidikan menuju
keutamaan sebagai warganegara. Untuk selanjutnya pendidikan karakter secara
ekplisit tercakup dalam kalimat “berakhlak mulia” dalam formulasi tujuan
pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas. [4]
Kronologis sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia tersebut,
nampak dengan kasat mata bahwa Pemerintah telah menaruh perhatian besar
terhadap pendidikan karakter di dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun yang
menjadi pertanyaan selanjutnya adalah sejauh manakah keberhasilan pendidikan
karakter sebagai kurikulum pendidikan nasional, sementara seiring dengan
pendidikan karakter tersebut, dekandensi moral justru semakin menjauh dari
nilai-nilai yang diharapkan dalam kuikum pendidikan nasional yang dimaksud?. Lantas
apa yang menentukan keberhasilan pendidikan nasional? Oleh karena itu hal yang harus
mendapatkan perhatian lebih adalah adanya konsistensi antara pemahaman dan kenyataan
di lapangan. Tidak hanya dimuat dalam muatan kurikulum, yang berimplikasi pada
indoktrinasi nilai-nilai karakter tanpa dibarengi dengan perilaku dan tindakan
yang mencerminkan nilai-nilai karakter yang dimaksud. Ibarat orang sedang
lapar, diberi tahu kalau ada makanan yang bisa membuat perut kenyang dan bisa
menimbulkan energi. Makanan tersebut tidak ada artinya, kalau tidak diambil
lalu dimakannya, perut tetap keroncongan. Jadi karakter tidak cukup hanyak
sebuah norma-norma yang harus dijunjun tinggi secara normatif tetapi harus
diberi porsi secara aplikatif.
Dari paparan tersebut, pendidikan karakter menjadi sangat penting
karena dengan karakter yang diiliki, seseorang akan menunjukkan siapa diri mereka
sebenarnya. Karakter akan menentukan bagaimana seseorang membuat keputusan,
karakter akan menentukan sikap, perkataan, dan pebuatan sesorang sehingga mudah
membedakan seseorang dengan lainya.
D.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter
Dalam rangka memperkuat pelaksanaan pndidikan karakter, pemerintah
sebenarnya telah mengidentifikasi 18 nilai-nilai yang berbasis karakter yang
didasarkan pada nilai-nilai agama, budaya, dan falsafah bangsa. Nilai-nilai
yang dapat dikembangkan dalam pendidikan karakter tersebut adalah sebagai
berikut;
1.
Religius
Religius adalah sikapdan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleranterhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.
Jujur
Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan.
3.
Toleransi
Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lainyang berbeda dari
dirinya.
4.
Disiplin
Disiplinadalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5.
Kerja keras
Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
6.
Kretif
Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untukmenghasilkan
cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki.
7.
Mandiri
Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas.
8.
Demokratis
Demokratis adalah cara berfikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinyadan orang lain.
9.
Rasa ingin tahu
Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya
untuk mengethui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat dan didengar.
10.
Semangat kebangsaan
Semangat kebangsaan adalah cara berfikir, bertindak dan berwawasan
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diridan
kelompoknya.
11.
Cinta tanah air
Cinta tanah air adalah cara berfikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.
Menghargai prestasi
Menghargai prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui
serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.
Komunikatif
Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.
Cinta damai
Cinta damai adalah sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.
Gemar membaca
Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli lingkungan
Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.
Peduli sosial
Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku sesorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan terhadap
dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negra dan
Tuhan Yang Maha Esa.
Delapan belas
nilai-nilai karakter yang telah dirumuskan oleh pemerintah tersebut,
setidak-tidaknya bisa dikembangkan dalam semua aspek kehidupan tidak hanya
menjadi tanggung jawab dunia pendidikan saja melainkan oleh semua pihak
terutama para elit, guru, pemimpin atau sebutan lain yang pantas dikategorikan
ke dalam staekholder. Yang perlu digarias bawahi di sini adalah bahwa ke 18
nilai-nilai karakter itu belum bisa membendung derasnya dekadensi moral, karena
seharusnya nilai-nilai karakter tidak cukup secara kwantitatif tersebut. Masih
ada nilai-nilai karakter yang harus dimasukkan ke dalam butir-butir nilai
karakter bangsa Indonesia. Nilai-nilai karakter yang masih terceer itu adalah,
nilai-nilai keteladanan, unggah-ungguh, sikap, pikiran dan tindakan
saling menerima, saling pengertian, saling menghrgai dan lain-lain. Pantas
sekali jika dekadensi moral bangsa Indonesia semakin parah karena nilai-nilai
yang tercecer tersebut tidak pula dijadikan buitr-butir nilai karakter.
E. Pendidikan karakter di sekolah
F.
Daftar Pustaka
-, UU Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Redaksi Sinar Grafika, Cet. 1, 2008.
A., Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh,
Yogyakarta, Kanisius, Cet. 5, 2012.
Antonio, Muhammad Syafii, Muhammad SAW. The Super Leader
SuperManager, Jakarta, Tazkia
Multimedia & ProLM Centre, Cet. 5 2007.
Arif, Syamsuddin, Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani, Cet. 1. 2008.
Baharuddin, dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,
Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, Cet.7, 2012.
Pasha, Lukman, Butir-butir Kearifan Jawa Sumber Inspirasi
Kearifan Lokal, Yogyakarta, INAzNa Books, Cet 1. 2011.
Syarbini, Amrulloh, Buku
Pintar Pendidikan Karakter, Jakarta,
as@-Prima Pustaka, Cet. 1, 2011.
Pendidikan karakter di rumah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar